RAMADHAN DAN KEMERDEKAAN HAKIKI
17 Agustus 2012
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Merupakan nikmat yang sangat besar dan tiada tara, bahwa hari ini kita dipertemukan Allah Azza wa jalla dengan Ramadhan dalam keadaan Islam dan Iman. Dengan pertemuan ini kita mendapatkan kesempatan besar untuk mendapat ampunan dari Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq 'Alaih)
Barangsiapa yang qiyam (lail) Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq 'Alaih)
Maka ini adalah kesempatan besar, sekaligus nikmat yang agung. Akan tetapi, peluang besar ini juga menjadi sebuah kecelakaan bagi orang-orang yang menyianyiakannya sehingga ia keluar dari Ramadhan tanpa ampunan dari Rabb-nya. Maka malaikat Jibril pun mendoakan dengan diamini Rasulullah:
Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Ramadhan kita kali ini bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67. Kita pun perlu mensyukuri nikmat kemerdekaan itu. Bahwa kemerdekaan itu kita raih di bulan Ramadhan pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendahulu kita pun telah menyatakan bahwa ia merupakan rahmat dari Allah SWT. Di samping itu, sungguh peristiwa ini menjadi penguat bagi salah satu nama bulan Ramadhan. Yakni syahrul jihad. Bahwa Ramadhan adalah bulan di saat kaum muslimin memiliki gairah besar untuk berjihad menegakkan agama Allah, bukan bulan yang memperlemah umat Islam dalam hari-hari yang penuh kelesuan.
Maka sejarah umat bicara. Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan dan kaum muslimin menuai kemenangan yang gemilang. 313 pasukan Islam berhasil mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy yang bersenjatakan lengkap. Kemenangan gemilang pertama yang diraih umat Islam ini kemudian menjadi penguat eksistensi kaum muslimin di Madinah dan pembuka bagi kemenangan-kemenangan Islam berikutnya. Adakah pakar militer saat itu yang bisa memprediksi bahwa Rasulullah dan para sahabatnya bisa memenangkan peperangan? Dan kemenangan jihad ini terjadi di bulan Ramadhan!
Enam tahun kemudian terjadi peristiwa yang jauh lebih besar dan mempesona. Inilah penaklukan paling indah dalam sejarah umat manusia. Penaklukan tanpa korban jiwa. Kemenangan besar tanpa tetesan darah! Sepuluh ribu pasukan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah memasuki Makkah dengan tenang, menang tanpa perlawanan. Bukan hanya kemenangan secara fisik yang membuat pasukan Makkah tidak berani memberontak, tetapi juga kemenangan jiwa sehingga keimanan masuk ke jiwa-jiwa mayoritas penduduk Makkah menggantikan seluruh kekufuran dan permusuhan mereka. Maka, tak ada satupun yang membela saat 360-an berhala di sekeliling ka’bah dihancurkan. Tak ada yang meratapi atau melakukan demontrasi saat berhala-berhala itu dilenyapkan. Sebab, sesaat sebelum dilenyapkan dari masjidil haram, Allah telah melenyapkan dari hati mereka. Inilah jihad dan kemenangan besar yang juga terjadi di bulan Ramadhan.
650 tahun kemudian juga terjadi peperangan yang dikenal dengan nama Ain Jaluth. Pasukan Islam melawan pasukan Tartar. Dua tahun sebelumnya Tartar di bawah pimpinan Hulako Khan telah menyerang Baghdad. Maka, bulan-bulan berikutnya adalah masa penderitaan dan kekalahan kaum muslimin, jatuhnya Baghdad, serta terbunuhnya khalifah. Hingga akhirnya jihad dikumandangkan yang terkenal dengan sebutan Perang Ain Jaluth. Kaum muslimin berhasil menuai kemenangan atas Tartar. Dan ini juga terjadi pada bulan Ramadhan.
Masih banyak sejarah jihad yang dimenangkan kaum muslimin di bulan Ramadhan.Pada Ramadhan tahun 15 Hijrah, terjadi perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia ditumbangkan. Pada Ramadhan tahun 53 H, umat Islam memasuki pulau Rhodes di Eropa. Pada bulan Ramadhan tahun 91 H, umat Islam memasuki selatan Andalusia. Pada Ramadhan tahun 92 H., umat Islam keluar dari Afrika dan membuka Andalusia dengan komandan Thariq bin Ziyad.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Jika Ramadhan telah menjadi bulan jihad, maka mari kita berdiri untuk memandangi wajah negeri ini. Sudahkah ia merdeka secara hakiki? Dan sudahkah kita mendapatkan kemerdekaan hakiki sebagai umat Islam Indonesia?
Kemerdekaan pertama yang harus dimiliki oleh manusia adalah kemerdekaan dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Jika seorang manusia masih dicekam ketakutan kepada sesama manusia, atau makhluk lain, lalu bisakah ia disebut merdeka? Padahal manusia sama derajatnya di sisi Allah. Yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa (QS. Al-Hujurat : 13)
Jika dengan sesama manusia saja tidak boleh menghamba, maka bagaimanakah kiranya orang yang menghamba kepada makhluk lain selain manusia yang kedudukannya lebih rendah. Baik itu makhluk hidup, makhluk ghaib, maupun materi seperti harta dan kekuasaan.
Kemerdekaan pertama adalah kemerdekaan aqidah. Bahwa kita hanya beribadah kepada Allah, takut kepada Allah, dan berharap hanya pada Allah. Bertauhid dengan benar. Sehingga seorang mukmin tidak lagi memiliki kekhawatiran dan ketakutan, ia merdeka!
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran : 139)
Kemerdekaan beraqidah ini tentu saja berimplikasi pada kemerdekaan menjalankan syariat. Maka jika Islam hendak dilaksanakan secara kaffah tetapi justru dihalangi dan dibatasi, sesungguhnya kemerdekaan hakiki belum kita peroleh.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kemerdekaan hakiki berikutnya mensyaratkan kemerdekaan ekonomi dari riba dan kemiskinan sistemik. Maka kita lihat, selain membangun masjid, Rasulullah di Madinah juga membangun pasar. Para pebisnis Islam seperti Abdurrahman bin Auf juga bergerak untuk memerdekakan ekonomi Madinah dari dominasi ribawi Yahudi. Akhirnya, kehidupan ekonomi membaik. Pelaksanaan zakat yang menjadi salah satu rukun Islam juga mendukung perekonomian umat, mengurangi kesenjangan dan menciptakan keharmonisan hubungan dalam bermasyarakat.
Ketika ekonomi terjajah, mudah sekali seseorang atau sebuah negara sekalipun didikte untuk mengikuti segala kemauan pihak yang berkuasa secara ekonomi. Jika keputusan-keputusan hidup kita atau kebijakan negara ini kemudian tidak mandiri melainkan diintervensi asing karena ketergantungan ekonomi, sudahkah kita merdeka? Pada hakikatnya belum. Karena merdeka berarti tidak dipengaruhi oleh siapapun dan bebas menentukan jalan hidup agar sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kita jadi merenung, kalau begitu ada benarnya ungkapan:
Hampir saja kemiskinan menyebabkan kekufuran
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kemerdekaan hakiki juga berarti kita merdeka untuk memperbanyak kebaikan sekaligus merdeka dari anasir-anasir negatif atau kemaksiatan. Hari ini kitamendapatkan fakta bahwa, muslimah yang berjilbab sebagian masih kesulitanbekerja di tempat publik dengan alasan jilbabnya; entah itu rumah sakit atau yanglainnya. Masih ada instansi-instansi yang tidak memberikan kesempatan luas kepadakaum muslimin untuk melaksanakan shalat tetap pada waktunya. Sebaliknya, kitaseakan dibanjiri dengan berbagai kemaksiatan yang sebagiannya tidak bisa kitahadang karena masuk dalam wilayah privasi dan menerobos dalam keluarga kitaMedia elektronik yang kaya dengan kemaksiatan namun miskin pendidikan,lokalisasi dan perjudian yang dilindungi, serta pergaulan bebas yang bahkandifasilitasi dengan penjualan kondom secara legal benar-benar membuakemerdekaan tidak mencapai hakikatnya.
Belum lagi ketika hak umat untuk hidup sejahtera harus terampas karena praktik korupsi yang meraja lela. Baru beberapa hari yang lalu, koran-koran nasional memberitakan bahwa korupsi di berbagai daerah demikian parah, hingga masuk kategori menggurita. Lalu yang dirugikan tentu saja adalah umat, rakyat kecil yang senantiasa taat membayar pajak. Tentu banyak hal yang menjadi catatan hingga kita sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan sejati belum menjadi milik kita, umat Islam Indonesia.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk meraih kemerdekaan hakiki? QS. An-Nisa ayat 97 memberikan ibrah kepada kita mengenai orang yang berdiam diri dalam keterjajahan.
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, (QS. An-Nisa' : 97)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan asbabun nuzul ayat ini. Bahwa ada sebagian orang makkah yang berislam secara sembunyi-sembunyi. Namun mereka tidak ikut hijrah ke Madinah. Maka saat perang Badar, mereka dipaksa oleh kafir Quraisy untuk ikut berperang di pihak mereka. Saat melihat orang dari kelompok ini terbunuh, sebagian sahabat yang tahu hendak mendoakan mereka, namun Allah SWT menurunkan ayat ini.
Artinya apa? Kita tidak boleh berdiam diri dalam kelemahan. Kita tidak boleh menyerah dalam kondisi yang tidak ideal. Maka bulan Ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk bangkit. Bangkit dalam aqidah Islam yang benar, bangkit untuk menjalankan Islam. Bangkit untuk menunjukkan semua potensi kita. Bahwa kita bisa. Bahwa kita, dengan identitas keislaman kita, siap mencapai kemerdekaan hakiki. Mencapai hidup yang mulia dan berazam mendapatkan ridha dan surga-Nya.
Jama'ah jum'at yang dirahmati Allah,
Ramadhan menjadi momentum yang luar biasa bagi kita untuk menjadi pribadi yang merdeka dan bangsa yang merdeka pula. Di saat kita dimudahkan Allah melalui Ramadhan ini dengan segala kebaikan yang terbuka seluas-luasnya dan keburukan menjadi minimal, saatnya kita datang kepada Allah dengan jiwa yang bersih dan hati ikhlas. Kita buka Al-Qur'an, kita pelajari, kita aktif dalam taklim, kita mulai bergabung dengan dakwah. Dan bersamaan dengan tekad kita memperbaiki diri, kita pun turut berupaya memperbaiki umat. Kita bergerak menuju seruan Allah untuk berislam secara kaffah:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah : 208)
0 komentar:
Posting Komentar